REVOLUSI HIJAU yang pertama kali dicetuskan pertama kali oleh Prof. Dr. Norman Ernest Borlaug (25 Maret 1914 – 12 September 2009), penerima nobel perdamaian 1970, telah membawa dampak yang luar biasa pada perkembangan ketersediaan pangan berbasis serealia di dunia. Berawal dari risetnya di Meksiko untuk mendapatkan varietas gandum dengan produktivitas tinggi, revolusi hijau menjalar keseluruh dunia khususnya negara berkembang dalam penyediaan pangan. Dari sisi kuantitas produksi, revolusi hijua dinilai telah menyelamatkan dunia dari bahaya rawan pangan, namun permasalahan lebih kompleks muncul dari penerapan revolusi hijau yang dilakukan secara membabi buta. Permasalahan linkungan akibat penggunaan pupuk kimia, pembasmi hama dan penyakit menyebabkan kerusakan hara pada tanah dan merusak ekositem setempat. Lebih jauh lagi ketergantungan petani akibat penggunaan benih unggul dan berbagai produk kimia pertanian menyebabkan hilangnya sebagian atau keseluruhan kemandirian petani untuk pberproduksi.
Permasalahan kompleks juga terjadi di Indonesia akibat penerapan revolusi hijau. Penerapan ekstensifikasi dan instesifikasi pertanian (dikenal dengan Panca dan Sapta usaha tani) yang digadang oleh orde baru selama berkuasa 32 tahun berkuasa, tidak hanya berakibat pada kerusakan lingkungan akibat penggunaan bahan-bahan kimia pertania (pupuk, pestisida, fungisida, insektisida dll), yang lebih parah dari program ini adalah luntur dan hilangnya watak dan karakter kemandirian dan kreativitas petani. Akibatnya petani kehilangan sebagian atau seluruhnya dari watak kemandiriannya , ketergantungan pada sarana bertani kimia (pestisida, fungisida, herbisida dll) yang tinggi mengakibatkan petani semakin rentan, kehilangan akses dan kontrol atas produksinya. Petani menjadi terasing atas pertaniannya sehingga harus meninggalkan desa menggantung mimpi dikota dan berburu mimpi di negeri asing.
Belum lagi kasus-kasus hukum yang terjadi pada petani pemulia benih yang terjerat hukum akibat melawan perusahaan-perusahaan benih mengakibatkan derita berkepanjangan petani di Indonesia. Sebut saja kasus perseteruan petani kecil versus pemilik modal besar atas penggunaan benih tanaman yang mirip di Kanada (tahun 1998) itu juga terjadi di Indonesia. Tokohnya di Indonesia adalah Djumadi dkk yang merupakan petani kecil di Kediri yang telah merasakan “keganasan” UU No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Awal Juli 2005, Pengadilan Negeri (PN) Kediri memvonis pidana penjara dan hukuman percobaan terhadap Djumadi dkk (Tempointreaktif.com). Kasus-kasus tersebut menjadikan petani tidak mampu mandiri, petani semakin rentan terhadap interfensi-interfensi pemodal besar, tidak mampu mengakses dan mengontrol produksi.
Solusi yang paling mungkin diterapkan adalah menggalakkan sistem pertanian organik. Sistem ini selain tidak bergantung pada bahan kimia pertanian, produk yang dihasilkan bernilai ekonomi lebih tinggi jika dibandingkan produk pertanian biasa. Dengan sistem pertanian organik, petani diharapkan mampu mengontrol produksinya, mandiri dan tidak lagi bergantung pada bahan-bahan kimi pertanian.